febriani F ekawati

Home » 2017 » June

Monthly Archives: June 2017

Self-Efficacy Theory

Kali ini saya akan membahas tentang suatu teori yang saya anggap sangat menarik dalam materi Psikologi Latihan, yaitu Self-Efficacy Theory. Tetapi sebelum saya membahasnya lebih jauh, saya akan berikan sebuah ilustrasi agar lebih mudah untuk dipahami.

“Menjelang acara pernikahannya yang kurang enam bulan lagi, Eka menginginkan penampilannya sempurna secara fisik, maka dari itu dia ingin menurunkan ukuran bajunya dua ukuran dari kondisinya sekarang. Setelah berkonsultasi dengan salah satu personal trainer di fitness center yang terbaik di kotanya, dia terisnpirasi untuk melakukan exercise. Dia juga telah membaca suatu majalah kebugaran bahwa Yoga adalah jalan terbaik untuk membuat badannya lebih kencang. Setelah menemukan jadwal yang tepat dengan waktu kerjanya untuk datang latihan, dia dengan semangat dan senang mengikuti kelas yoga yang ditawarkan, sehingga dia percaya bahwa dia akan dapat menguasainya.”

Contoh lain adalah sebagai berikut: jika anda diberikan kesempatan mendapatkan beasiswa untuk kuliah di jurusan olahraga dengan syarat berenang 10 kali putaran di kolam renang standar internasional, anda pasti akan mencobanya, dengan asumsi anda bisa berenang.  Nah sekarang bayangkan jika anda akan diberikan kesempatan yang sama untuk mendapatkan biaya kuliah, tetapi harus mampu berenang mengalahkan atlet nasional. Apakah anda masih mau melakukannya? Jika kemampuan berenang anda hanya biasa saja, sepertinya anda tidak akan mencobanya. Kenapa kedua kasus ini berbeda? Pada kasus pertama, anda percaya anda dapat berenang 10 putaran kolam renang. Kasus kedua, anda tidak percaya dapat mengalahkan atlet nasional, dan anda tidak akan pernah mencobanya. Tapi pernahkah anda membaca hal ini “Saya pikir saya bisa”….Inilah konsep dari self-efficacy.

Self-efficacy adalah sebuah keyakinan akan kemampuan diri sendiri untuk berhasil mencapai sesuatu. Self-Efficacy Theory (SET) adalah sebuah teori yang dimotori oleh Bandura pada tahun 1977 dan dikembangkan dalam lingkup Social Cognitive Theory (SCT). Dalam SCT, individual dilihat sebagai proactive agents dalam regulasi kognisi mereka, motifasi, aksi, dan emosi daripada sebagai passive reactors untuk lingkungan mereka. Dilihat dari sudut aktivitas fisik, teori-teori yang berdasar pada sebuah pendekatan social kognitif melihat perilaku latihan dipengaruhi oleh human cognition (contohnya., expectations, intentions, beliefs, attitudes) dan external stimuli (contohnya., social pressures/ experiences).

SET menjelaskan kepada kita bahwa pada umumnya seseorang hanya akan mengusahakan sesuatu yang mereka percaya/ yakini dapat berhasil dan tidak akan mau mengusahakan sesuatu yang mereka pikir hasilnya hanya kegagalan. Hal ini masuk akal—-kenapa anda mencoba sesuatu yang anda pikir tidak mampu melakukannya? Tetapi, individu dengan efficacy yang kuat percaya mereka akan berhasil meskipun melakukan tugas-tugas yang sulit. Mereka melihat hal itu sebagai tantangan yang harus dikuasai, dibandingkan ancaman yang harus dihindari. Orang-orang tipe seperti ini selalu menentukan tujuan dan menjaganya dengan komitmen yang kuat. Jika menghadapi suatu kegagalan, mereka meningkatkan dan mempertahankan usaha mereka untuk sampai berhasil. Mereka menghadapi kesulitan atau ancaman dengan keyakinan bahwa mereka memiliki kendali atas hal tersebut. Dengan memiliki cara pandang seperti ini akan mengurangi tekanan (stress) dan menurunkan risiko depresi pada seseorang. Sebaliknya, orang-orang yang meragukan kemampuannya untuk menyelesaikan tugas-tugas yang sulit melihat tugas ini sebagai ancaman. Mereka menghindari tugas tersebut berdasarkan kelemahan pribadi mereka sendiri. Mereka cepat sekali menyerah jika menghadapi kesulitan atau kegagalan, dan tidak butuh banyak waktu bagi mereka untuk kehilangan kepercayaan pada kemampuan mereka. Cara pandang seperti ini akan meningkatkan tingkat stress dan depresi.

Selanjutnya, bagaimana cara meningkatkan self-efficacy pada seseorang? Berikut adalah empat sumber keyakinan dalam meningkatkan self-efficacy, yaitu: performance accomplishment, vicarious experiences, verbal persuasion, and physiological states.

Performance Accomplishment. Penampilan-penampilan pada masa lalu terlihat sebagai sumber yang paling berpengaruh pada efficacy karena berdasarkan penguasaan pengalaman (mastery experiences) mereka sendiri. Mastery experience adalah sumber yang paling penting dan potensial untuk meningkatkan self-efficacy. Seseorang yang berhasil menjalankan tugas akan percaya bahwa dia memiliki kempampuan yang diperlukan. Jika seseorang telah berulang kali melihat pengalaman-pengalaman tersebut sebagai kesuksesan, self-efficacy belief pada umumnya akan meningkat. Jika pengalaman-pengalaman tersebut terlihat sebagai sebuah kegagalan, self-efficacy belief pada umumnya akan menurun. Contohnya seperti ini: dalam mewujudkan keinginannya menurunkan ukuran bajunya, Eka rajin melakukan Yoga di Gym dekat rumahnya. Minggu pertama dia melakukan beberapa gerakan yoga seperti utkatasana/ chair pose dan plank belum sempurna. Setiap pagi dia berlatih di rumah, akhirnya dia mampu melakukan gerakan itu dengan sempurna, sehingga minggu-minggu berikutnya ketika dia berlatih rangkaian yoga di Gym dengan pelatih dan teman-temannya, dia semakin percaya bahwa dia mampu melakukan chair pose dan plank. Memang kelihatannya menguasai sesuatu yang baru itu suatu hal yang mudah; yang perlu kamu lakukan hanyalah latihan dan latihan. Tetapi, jika setiap tugas-tugas baru adalah mudah, biasanya hal-hal yang kurang dikenali atau hal yang sulit akan dihindari. Hal tersebut tidak akan meningkatkan self-efficacy. Jadi untuk meningkatkan self-efficacy tetaplah diperlukan usaha akan sesuatu yang sulit dan mengatasi kesulitan-kesulitan yang ada.

Vicarious experiences. Sumber kedua dalam efficacy adalah vicarious experience atau juga bisa disebut dengan observational learning. Perilaku (baik keberhasilan atau kegagalan) dari orang lain dapat digunakan sebagai standar pembanding untuk seseorang. Mengamati kesuksesan orang lain yang masih dalam satu kondisi/ situasi yang sama dapat meningkatkan self-efficacy sedangkan sebaliknya jika mengamati kegagalan orang lain akan mengurangi self-efficacy. Misalnya, seorang wanita mungkin mengalami kegagalan dalam usaha awalnya untuk menggunakan sebuah alat di Gym yaitu a Stair Climber, akibatnya, dia kehilangan self-efficacy. Namun, dia bisa mengamati salah satu temannya yang dianggap telah sukses dalam menggunakan alat tersebut, dan menjadikan keberhasilan temannya tersebut sebagai sebuah katalis untuk meningkatkan self-efficacy nya.

Verbal persuasion. Teknik persuasif meliputi persuasi verbal, umpan balik evaluatif, harapan dari pihak lain, self-talk, dan strategi kognitif lainnya. Di dalam ruang lingkup olahraga prestasi, teknik-teknik ini banyak digunakan oleh para pelatih, manager, orangtua, dan peers di dalam upaya untuk mempengaruhi persepsi efficacy dari seorang atlet atau sebuah tim. Kekuatan pengaruh persuasif pada self-efficacy ini bergantung pada prestise, kredibilitas, keahlian dan kepercayaan dari pembujuk/ persuader. Seorang pelatih biasanya dipercayai sebagai sumber informasi yang mempunyai tingkat kredibilitas tinggi oleh atletnya.

Physiological Information. Sensasi tubuh seperti peningkatan denyut jantung, meningkatnya jumlah keringat, dan peningkatan laju pernafasan dapat memberikan sinyal/ tanda pada seorang individu tentang tingkat efficacy nya saat itu. Penilaian individu terhadap informasi sangatlah penting. Contohnya sebagai berikut: di satu sisi, jika kenaikan denyut jantung diinterpretasikan sebagai sebuah konfirmasi dari kondisi fisik yang jelek, hal ini dapat mengurangi self-efficacy. Di sisi lain, jika kenaikan denyut jantung dijadikan sebuah bukti dari hasil pemanasan yang memadahi, hal ini dapat meningkatkan self-efficacy.

Selain empat sumber tersebut, para ahli lainnya menambahkan dua hal yaitu imagery experience dan emotional states. Imagery experience adalah sebuah bentuk khusus dari vicarious experience yang merupakan cognitive self-modelling/ pemodelan kognitif. Disini seorang individu menggunakan visualisasi untuk mengulangi dan berhasil menghadapi dan menguasai situasi yang menantang. Yang kedua yaitu emotional states. Suasana hati dapat mempengaruhi self-efficacy. Contohnya begini: kesuksesan dan kegagalan seseorang di masa lalu tersimpan di dalam memori dan terkadang kembali lagi. Dengan demikian, ketika seorang individu sukses, mereka mengingat pengalaman tersebut dalam sebuah memori bersama dengan perasaan gembira dan semangat. Begitu juga jika seseorang gagal, mereka menyimpan memori kegagalan tersebut dengan perasaan kecewa, sedih, dan depresi. Oleh karena itu, keberadaan suasana hati yang negatif yang diakibatkan oleh memori-memori kegagalan menjadikan tingkat self-efficacy seseorang menurun.

Kesimpulannya, berdasar SET, verbal persuasion, mastery experience, vicarious experiences, imagery experience, dan emotional states mempengaruhi self-efficacy, dan selanjutnya akan mempengaruhi perilaku kita.

 

FFE

Birmingham, 4/6/2017

References:

Carron, Albert V., Hausenblas, Heather A., Estabrooks, Paul A. 2003. The Psychology of Physical Activity. The McGraw-Hill Companies, Inc. NY, USA

Feltz, Deborah L., Short, Sandra E., Sullivan, Philip J. 2008. Self-Efficacy in Sport. Human Kinetics.

Thatcher, J., Day, M., Rahman, R. 2011. Sport and Exercise Psychology. Learning Matters Ltd. Exeter

Lox, C.L., Martin Ginis, K.A., Petruzzello, S.J. 2010. The Psychology of Exercise. Integrating Theory and Practice. Holcomb Hathaway, Publisher, Inc. USA.